Senin, 06 Mei 2013

SEJARAH KABUPATEN LEBAK


Sebagai bagian dari wilayah Kesultanan Banten, Kabupaten Lebak dengan luas Wilayah 304.472 Ha, sejarahnya tidak dapat dipisahkan dari sejarah Kesultanan Banten.
Berkaitan dengan Hari Jadi Kabupaten Lebak yang jatuh pada tanggal 2 Desember 1828,  terdapat beberapa catatan sejarah yang menjadi dasar pertimbangan, antara lain :

1.Pembagian Wilayah Kesultanan Banten

   Pada tanggal 19 Maret 1813, Kesultanan Banten dibagi 4 wilayah yaitu :

    - Wilayah Banten Lor
    - Wilayah Banten Kulon
    - Wilayah Banten Tengah
    - Wilayah Banten Kidul

Ibukota Wilayah Banten Kidul terletak di Cilangkahan dan pemerintahannya dipimpin oleh  Bupati yang diangkat oleh Gubernur Jendral Inggris (RAFFLES) yaitu TUMENGGUNG SURADILAGA.




2. Pembagian Wilayah Keresidenan Banten

Berdasarkan Surat Keputusan Komisaris Jenderal Nomor 1, Staatsblad Nomor 81 tahun 1828, Wilayah Keresidenan Banten dibagi menjadi 3 (tiga)  Kabupaten yaitu :
      - Kabupaten Serang
      - Kabupaten Caringin
      - Kabupaten Lebak

Wilayah Kabupaten Lebak, berdasarkan pembagian diatas memiliki batas-batas yang meliputi District dan Onderdistrict yaitu :

a. District Sajira, yang terdiri dari Onderdistrict Ciangsa, Somang dan Onderdistrict Sajira,
b. District Lebak Parahiang, yang terdiri dari Onderdistrict Koncang dan Lebak Parahiang.
c. District Parungkujang, yang terdiri dari Onderdistrict Parungkujang dan Kosek,
d. District Madhoor (Madur) yang terdiri dari Onderdisrict Binuangeun, Sawarna dan Onderdistrict  Madhoor (Madur).


3. Pemindahan Ibukota Kabupaten Lebak
Pada tahun 1851, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, nomor 15 tanggal 17 Januari 1849, Ibukota Kabupaten Lebak yang saat itu berada di Warunggunung dipindahkan ke Rangkasbitung. Pelaksanaan pemindahannya secara resmi baru dilaksanakan pada tanggal 31 Maret 1851.


4. Perubahan Wilayah Kabupaten Lebak

Wilayah Kabupaten Lebak yang pada tahun 1828 memiliki District, dengan terbitnya  Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 29 Oktober 1828, Staatsblad nomor 266 tahun 1828,   diubah  menjadi :

- District Rangkasbitung,  meliputi  Onderdistrict Rangkasbitung, Kolelet Wetan, Warunggunung dan Onderdistrict Cikulur.
- District Lebak, meliput Onderdistrict Lebak, Muncang, Cilaki dan Cikeuyeup.
- District Sajira meliputi Onderdistrict Sajira, Saijah, Candi dan Maja.
- District Parungkujang, meliputi Onderdistrict Parungkujang, Kumpay, Cileles dan Bojongmanik.
- District Cilangkahan, meliputi Onderdistrict Cilangkahan, Cipalabuh, Cihara dan Bayah.
5. Tanggal 14 Agustus 1925
   Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 14 Agustus 1925, Staatsblad nomor 381 tahun 1925 Kabupaten Lebak menjadi daerah Pemerintahan yang berdiri sendiri dengan wilayah meliputi District Parungkujang, Rangkasbitung, Lebak dan Cilangkahan.


6. Tanggal 8 Agustus 1950
Undang-undang Nomor 14 tahun 1950 tentang Pembentukan daerah-daerah Kabupaten dalam lingkungan Propinsi Jawa Barat.
Berdasarkan rangkaian sejarah  tersebut kami berpendapat bahwa titi mangs  tepat untuk ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Lebak adalah tanggal 2 Desember 1828, dengan dasar pemikiran dan pertimbangan sebagai berikut :

a. Tanggal 2 Desember 1828, berdasarkan Staatsblad Nomor 81 tahun 1828 merupakan titik awal pembentukan 3 (tiga) Kabupaten di wilayah bekas Kesultanan Banten dan nama Lebak mulai diabadikan menjadi nama Kabupaten dengan batas-batas wilayah yang lebih jelas sebagaimana tercantum dalam pembagian wilayah ke dalam District dan Onderdistrict (Kewedanaan dan Kecamatan). Walaupun terdapat perubahan nama dan penataan kembali wilayah District dan Onderdistrict tersebut, wilayah Kabupaten Lebak dalam perkembangan selanjutnya sebagaimana tertuang dalam Staatsblad nomor 226 tahun 1828, Staatsblad nomor 381 tahun 1925 dan Undang-undang nomor 14 tahun 1950, merupakan wilayah Kabupaten Lebak sebagaimana adanya saat ini.
Sebelum adanya Staatsblad nomor 81 tahun 1828, selain nama Lebak belum pernah diabadikan  batas wilayah untuk Kabupaten yang ada di wilayah Banten karena belum adanya kejelasan yang dapat dijadikan dasar penetapan.

b. Tanggal 2 Desember 1828 yang bertepatan dengan saat diterbitkannya Staatsblad nomor 81 tahun1828,  tidak dijadikan dasar penetapan sebagai Hari Jadi bagi dua Kabupaten lainnya, yaitu Kabupaten Serang dan Pandeglang.
Upaya yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Lebak beserta seluruh aparat serta dukungan seluruh masyarakat Kabupaten Lebak melalui wakil-wakilnya di DPRD,  telah berhasil menentukan Hari Jadi Kabupaten Lebak dengan lahirnya Keputusan DPRD nomor 14/172.2/D-II/SK/X/1986, yang memutuskan untuk  menerima dan menyetujui bahwa  Hari Jadi Kabupaten Lebak jatuh pada tanggal 2 Desember 1828 beserta rancangan peraturan daerahnya.

A. Lambang Berbentuk Perisai
Benteng atau Perisai tanda kekayaan dan ketangguhan, sanggup menghadapi segala rintangan tantangan

B. Warna Dasar Kuning
Warna Emas dalam arti Kalimat (letterliyk), Lebak mempunyai tambang emas Cikotok dan kekayaan alam lainnya. Arti kiasan (fuugurliyk), pernah mengalami jaman keemasan dalam sejarahnya dan dengan kemerdekaan RI akan menuju ke jaman itu kembali dengan lebih maju.

C. Kubah Masjid Warna Putih
Lambang Jiwa Agama Islam dalam bathin penduduk. Putih tanda suci dalam hati dan perbuatan, suka damai dan toleransi (tasamuh).

D. Angklung Warna Hitam
Lambang seni, berkaki enam buah tanda gotong royong. Ciri khas kesenian asli lebak bermitos agama. Hitam, bahwa di Lebak masih tinggal Suku Asli Kanekes yang walaupun berada di tempat yang masih diselimuti kegelapan (Daerah Pegunungan Kendeng), pada hakekatnya mereka menyimpan sifat-sifat kebaikan yang murni dan apabila telah masuk sinar yang terang ke dalam lubuk hatinya, kebaikan akan menonjol lebih nyata, sebagai manifestasi jiwa yang asli.

E. Warna Biru Polos
Lambang lautan bahwa daerah Lebak memiliki Samudera Indonesia yang luas dan dalam, yang menghasilkan ikan dan hasil laut lainnya.

F. Warna Biru Di Antara Hijau Melurus Ke Bawah Dan Bersatu Dengan Biru Sebelah Kiri Bawah
Lambang sungai, diantaranya tiga buah sungai besar seperti Cisimeut dan Ciberang, bersatu dengan Ciujung yang walaupun berlainan asal hulunya (sumbernya) tetapi menjadi satu.
Lambang berukuran, ketenangan dan ke dalam lubuk hati rakyatnya. Walaupun berlainan asal sukunya berarti mewujudkan sosial untuk kepentingan umum.

G. Pita Berwarna Merah Putih
Warna merah, tanda hidup dan berani. Warna putih tanda suci. Benteng atau perisai tanda kekayaan dan keteguhan sanggup menghadapi segala rintangan. 

Jumlah Kecamatan, Desa/Kelurahan
Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia; sedangkan Kelurahan adalah wilayah kerja lurah sebagai Perangkat Daerah dalam wilayah kerja kecamatan. Jumlah Desa dan Kelurahan di Kabupaten Lebak pada tahun 2008 sebanyak 340 desa dan 5 Kelurahan yang tersebar di 28 Kecamatan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3
Jumlah Desa/Kelurahan Menurut Kecamatan di Kab. Lebak Tahun 2008
No.
Kecamatan
Desa
Kelurahan
1
Malingping
14
-
2
Wanasalam
13
-
3
Panggarangan
11
-
4
Bayah
11
-
5
Cilograng
10
-
6
Cibeber
22
-
7
Cijaku
10
-
8
Banjarsari
20
-
9
Cileles
12
-
10
Gunungkencana
12
-
11
Bojongmanik
9
-
12
Leuwidamar
12
-
13
Muncang
12
-
14
Sobang
10
-
15
Cipanas
14
-
16
Sajira
15
-
17
Cimarga
17
-
18
Cikulur
13
-
19
Warunggunung
12
-
20
Cibadak
15
-
21
Rangkasbitung
11
5
 22
Maja
14
-
23
Curugbitung
10
-
24
Cihara
9
-
25
Cigemblong
9
-
26
Cirinten
10
-
27
  Lebakgedong
6
-
28
Kalanganyar
7
-
Jumlah
340
5





Sumber : BPS Kab. Lebak, 2008
Perlu diketahui, bahwa pada tahun 2006 jumlah desa/kelurahan di Kabupaten Lebak sebanyak 315 desa dan 5 kelurahan. Seiring dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk dan volume kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa, maka dikeluarkan Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 1 Tahun 2008 mengenai pemekaran 25 desa di Kabupaten Lebak yang pada akhirnya jumlah desa/kelurahan berjumlah 340 desa dan 5 Kelurahan.
Guna meningkatkan kinerja pemerintahan desa, perlu ditunjang dengan sarana kantor desa yang memadai. Untuk lebih jelasnya kondisi kantor desa dapat dilihat pada tabel 4 berikut ini :
Tabel 4
Kondisi Kantor Desa/Kelurahan di Kabupaten Lebak Tahun 2008
No.
Kecamatan
Jumlah Desa
Kondisi Bangunan Kantor Desa
Baik
Sedang
Rusak
Belum Punya
1.
Rangkasbitung
16
4
15
1
1
2.
Kalanganyar
7
-
6
1
-
3.
Cibadak
15
-
4
2
6
4.
Warunggunung
12
-
4
8
-
5.
Cikulur
13
11
-
2
-
6.
Maja
14
2
7
3
2
7.
Sajira
15
2
7
6
-
8.
Curugbitung
10
-
7
-
3
9.
Cipanas
14
3
4
5
2
10.
Lebakgedong
6
1
-
2
3
11.
Cimarga
17
3
1
2
11
12.
Leuwidamar
12
4
1
6
1
13.
Muncang
12
1
3
-
8
14.
Sobang
10
5
3
-
2
15.
Bojongmanik
9
2
-
3
6
16.
Cirinten
10
2
-
3
5
17.
Gunungkencana
12
7
-
4
1
18.
Cileles
12
-
11
-
1
19.
Banjarsari
20
4
-
6
7
20.
Cijaku
10
1
-
6
3
21.
Cigemblong
9
-
2
7
-
22.
Malingping
14
-
7
6
1
23.
Wanasalam
13
3
7
2
1
24.
Panggarangan
11
6
3
1
1
25.
Cihara
9
-
2
6
-
26.
Bayah
11
-
4
3
4
27.
Cilograng
10
2
4
3
1
28.
Cibeber
22
3
3
14
2
JUMLAH
345
66
105
102
72
Sumber : BP2KBMPD Kab. Lebak, 2008
Status tanah yang dimiliki oleh kantor desa/kelurahan sebagian besar berstatus tanah desa yaitu sebesar 66,25%, sebagian lagi berstatus tanah pribadi  sebesar 4,37% dan hibah sebesar 1,56%.







Banten merupakan sebuah provinsi di sebelah barat Pulau Jawa memiliki moto  “Iman Taqwa”. Moto ini mengartikan bahwa seluruh masyarakat Banten adalah orang-orang yang memiliki agama atau kepercayaan yang kuat dan mendominasi hampir seluruh kehidupan mereka. Ibu kota Banten adalah Serang. Hari jadi provinsi Banten adalah 4 Oktober 2000. Titik koordinat wilayah Banten adalah  5° 7' 50" - 7° 1' 11" LS dan 105° 1' 11" - 106° '12" BT.

Untuk saat ini pemerintahan Provinsi banten dipimpin oleh Gubernur Hj. Ratu Atut Chosiyah. Luas wilayah Banten sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2000 adalah 9.160,70 km2, dengan Populasi  10.644.030 jiwa, dan kepadatan 1.161,9/km².

Demografi Banten sendiri terdiri dari  Suku bangsa Banten  dengan presentase sebesar 47% dari jumlah penduduk, Sunda dengan presentase sebesar  23% dari jumlah penduduk, dengan presentase sebesar Jawa 12% dari jumlah penduduk, dengan presentase sebesar  Betawi 9,62% dari jumlah penduduk, Tionghoa dengan presentase sebesar  1,1% dari jumlah penduduk, Batak dengan presentase sebesar  0,93% dari jumlah penduduk, Minangkabau dengan presentase sebesar  0,81%, dari jumlah penduduk Lain-lain dengan presentase sebesar  54% dari jumlah penduduk. Mereka berbahasa Sunda, Jawa Banten, Indonesia, dan Betawi. Dan kebanyakan mereka memeluk agama Islam, karena hampir 96,6% jumlah presentase pemeluk agama islam. Sedangkan yang beragama Kristen 1,2%, Katolik 1%, Buddha 0,7%, dan  Hindu 0,4%.

Wilayah laut Banten merupakan salah satu jalur laut potensial selain karena batas daerahnya. Batas daerah Banten sebelah utara adalah Laut Jawa, yang dikenal dengan potensi perikanan yang cukup bagus bagi Jawa. Kemudian sebelah Barat berbatasan dengan Selat Sunda, yang merupakan merupakan salah satu jalur lalu lintas laut yang strategis karena dapat dilalui kapal besar yang menghubungkan Australia dan Selandia Baru dengan kawasan Asia Tenggara misalnya Thailand, Malaysia, dan Singapura. Disebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia, yang berpotensi untuk memperkaya mata pencarian penduduknya, dengan berlayar mencari ikan besar. Dan yang terakhir di sebelah timur, yang berbatasan dengan DKI Jakarta dan Jawa Barat.
Di samping itu Banten merupakan jalur penghubung antara Jawa dan Sumatera. Bila dikaitkan posisi geografis dan pemerintahan maka wilayah Banten terutama daerah Tangerang raya (Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, dan Kota Tangerang selatan) merupakan wilayah penyangga bagi Jakarta. Secara ekonomi wilayah Banten memiliki banyak industri. Wilayah Provinsi Banten juga memiliki beberapa pelabuhan laut yang dikembangkan sebagai antisipasi untuk menampung kelebihan kapasitas dari pelabuhan laut di Jakarta dan ditujukan untuk menjadi pelabuhan alternatif selain Singapura.
Iklim Banten sendiri adalah Iklim Tropis.  Daerah Banten terbagi menjadi 8 daerah kabupaten/kota. Diantaranya adalah Kota Tangerang Selatan, Ciputat, Kota Cilegon, Kota Serang, Kota Tangerang, Kabupaten Pandeglang                Pandeglang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Serang, dan Kabupaten Tangerang.
Di Provinsi Banten terdapat suku asli, yaitu Suku Baduy. Suku Baduy Dalam merupakan suku asli Sunda Banten yang masih menjaga tradisi anti modernisasi, baik cara berpakaian maupun pola hidup lainnya. Perkampungan masyarakat Baduy umumnya terletak di daerah aliran Sungai Ciujung di Pegunungan Kendeng. Daerah ini dikenal sebagai wilayah tanah titipan dari nenek moyang, ya­­ng harus dipelihara dan dijaga baik-baik, tidak boleh dirusak. Masyarakat Baduy memiliki tanah adat kurang lebih sekitar 5.108 hektar yang terletak di Pegunungan Keundeng. Mereka memiliki prinsip hidup cinta damai, tidak mau berkonflik dan taat pada tradisi lama serta hukum adat.

Kadang kala suku Baduy juga menyebut dirinya sebagai orang Kanekes, karena berada di Desa Kanekes. Mereka berada di wilayah Kecamatan Leuwidamar. Perkampungan mereka berada di sekitar aliran sungai Ciujung dan Cikanekes di Pegunungan Keundeng. Atau sekitar 172 km sebelah barat ibukota Jakarta dan 65 km sebelah selatan ibu kota Serang.

Masyarakat suku Baduy sendiri terbagi dalam tiga kelompok. Kelompok terbesar disebut dengan Baduy Luar atau Urang Panamping yang tinggal disebelah utara Kanekes. Mereka berjumlah sekitar 7 ribuan yang menempati 28 kampung dan 8 anak kampung. Mereka tinggal di desa Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, yang mengelilingi wilayah baduy dalam. Masyarakat Baduy Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam.  Suku Baduy Luar biasanya sudah banyak berbaur dengan masyarakat Sunda lainnya. selain itu mereka juga sudah mengenal kebudayaan luar, seperti bersekolah.

Sementara di bagian selatannya dihuni masyarakat Baduy Dalam atau Urang Dangka. Diperkirakan mereka berjumlah 800an orang yang tersebar di Kampung Cikeusik, Cibeo dan Cikartawana. Kelompok tangtu (baduy dalam). Suku Baduy Dalam tinggal di pedalaman hutan dan masih terisolir dan belum masuk kebudayaan luar. Memiliki kepala adat yang membuat peraturan-peraturan yang harus dipatuhi biasa disebut Pu’un. Orang Baduy dalam tinggal di 3 kampung,yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik.
Kelompok Baduy Dangka, mereka tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kedua kelompok ini memang memiliki ciri yang beda. Bila Baduy Dalam menyebut Baduy Luar dengan sebutan Urang Kaluaran, sebaliknya Badui Luar menyebut Badui Dalam dengan panggilan Urang Girang atau Urang Kejeroan. Ciri lainnya, pakaian yang biasa dikenakan Baduy Dalam lebih didominasi berwarna putih-putih. Sedangkan, Baduy Luar lebih banyak mengenakan pakaian hitam dengan ikat kepala bercorak batik warna biru.

Masyarakat Baduy sangat taat pada pimpinan yang tertinggi yang disebut Puun. Puun ini bertugas sebagai pengendali hukum adat dan tatanan kehidupan masyarakat yang menganut ajaran Sunda Wiwitan peninggalan nenek moyangnya. Setiap kampung di Baduy Dalam dipimpin oleh seorang Puun, yang tidak boleh meninggalkan kampungnya. Pucuk pimpinan adat dipimpin oleh Puun Tri Tunggal, yaitu Puun Sadi di Kampung Cikeusik, Puun Janteu di Kampung Cibeo dan Puun Kiteu di Cikartawana. Sedangkan wakilnya pimpinan adat ini disebut Jaro Tangtu yang berfungsi sebagai juru bicara dengan pemerintahan desa, pemerintah daerah atau pemerintah pusat. Di Baduy Luar sendiri mengenal sistem pemerintahan kepala desa yang disebut Jaro Pamerentah yang dibantu Jaro Tanggungan, Tanggungan dan Baris Kokolot.

Mata pencarian masyarakat Baduy yang paling utama adalah bercocok tanam padi huma dan berkebun serta membuat kerajinan koja atau tas dari kulit kayu, mengolah gula aren, tenun dan sebagian kecil telah mengenal berdagang. Kepercayaan yang dianut masyarakat Kanekes adalah Sunda Wiwitan.didalam baduy dalam, Ada semacam ketentuan tidak tertulis bahwa ras keturunan Mongoloid, Negroid dan Kaukasoid tidak boleh masuk ke wilayah Baduy Dalam. Jika semua ketentuan adat ini di langgar maka akan kena getahnya yang disebut kuwalat atau pamali adalah suku Baduy sendiri.

Adapun sebutan siku Baduy menurut cerita adalah asalnya dari kata Badui, yakni sebutan dari golongan/ kaum Islam yang maksudnya karena suku itu tidak mau mengikuti dan taat kepada ajaran agama Islam, sedangkan disaudi Arabia golongan yang seperti itu disebut Badui maksudnya golongan yang membangkang tidak mau tunduk dan sulit di atur sehingga dari sebutan Badui inilah menjadi sebutan Suku Baduy.

Konon pada sekitar abad ke XI dan XII Kerajaan Pajajaran menguasai seluruh tanah Pasundan yakni dari Banten, Bogor, priangan samapai ke wilayah Cirebon, pada waktu itu yang menjadi Rajanya adalah PRABU BRAMAIYA MAISATANDRAMAN dengan gelar PRABU SILIWANGI.

Kemudian pada sekitar abad ke XV dengan masuknya ajaran Agama Islam yang dikembangkan oleh saudagar-saudagar Gujarat dari Saudi Arabia dan Wali Songo dalam hal ini adalah SUNAN GUNUNG JATI dari Cirebon, dari mulai Pantai Utara sampai ke selatan daerah Banten, sehingga kekuasaan Raja semakin terjepit dan rapuh dikarenakan rakyatnya banyak yang memasuki agama Islam. Akhirnya raja beserta senopati dan para ponggawa yang masih setia meninggalkan keraan masuk hutan belantara kearah selatan dan mengikuti Hulu sungai, mereka meninggalkan tempat asalnya dengan tekad seperti yang diucapkan pada pantun upacara Suku Baduy “ Jauh teu puguh nu dijugjug, leumpang teu puguhnu diteang , malipir dina gawir, nyalindung dina gunung, mending keneh lara jeung wiring tibatan kudu ngayonan perang jeung paduduluran nu saturunan atawa jeung baraya nu masih keneh sa wangatua”

Artinya : jauh tidak menentu yang tuju ( Jugjug ),berjalan tanpa ada tujuan, berjalan ditepi tebing, berlindung dibalik gunung, lebih baik malu dan hina dari pada harus berperang dengan sanak saudara ataupun keluarga yang masih satu turunan “

Suku baduy masih setia dengan adat istiadatnya yang menjalani kehidupan seperti leluhurnya. Tak heran, jika orang Baduy Dalam hingga kini tetap pantang menggunakan sabun, menumpang mobil atau mengendarai sepeda motor. Bahkan tak pernah bersepatu. Jika bepergian ke Jakarta misalnya, mereka tempuh dengan berjalan kaki selama tiga hari tiga malam. Daftar pantangan tabu bagi mereka masih berderet: Tak bersekolah, menggunakan kaca, menggunakan paku besi, pantang mengkonsumsi alkohol dan berternak binatang yberkaki empat, dan masih banyak lagi.

Prinsip kearifan yang dipatuhi secara turun temurun oleh masyarakat Baduy ini membuat mereka tampil sebagai sebuah masyarakat yang mandiri, baik secara sosial maupun secara ekonomi. Karena itu, ketika badai krisis keuangan global melanda dunia, dan merontokkan pertahanan ekonomi kita di awal tahun milennium ini, suku Baduy terbebas dari kesulitan itu. Hal itu berkat kemandirian mereka yang diterapkan dalam prinsip hidup sehari-hari.

Orang Baduy tak saja mandiri dalam memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Mereka tak membeli beras, tapi menanam sendiri. Mereka tak membeli baju, tapi menenun kain sendiri.. Kayu sebagai bahan pembuat rumah pun mereka tebang di hutan mereka, yang keutuhan dan kelestariannya tetap terjaga. “Dari 5.136,8 hektar kawasan hutan di Baduy, sekitar 3.000 hektar hutan dipertahankan untuk menjaga 120 titik mata air”, kata Jaro Dainah, kepala pemerintahan (jaro pamarentah) suku Baduy.

Kemandirian mereka dari hasrat mengonsumsi sebagaimana layaknya orang kota, antara lain tampak pada beberapa hal lainnya. Untuk penerangan, mereka tak menggunakan listrik. Dalam bercocok tanam, mereka tak menggunakan pupuk buatan pabrik. Mereka juga membangun dan memenuhi sendiri kebutuhan untuk pembangunan insfrasuktur seperti jalan desa, lumbung padi, dan sebagainya.

Orang tak bisa menuding begitu saja, bahwa suku Baduy Dalam terbelakang. Ternyata, mereka menguasai teknik pertanian dan bercocok tanam dengan baik, sembari tetap menjaga kelestarian lingkungan. “Mereka memang tak bersekolah. Belajar di ladang dan menimba kearifan hidup di alam terbuka adalah sekolah mereka”, tutur Boedihartono, antropolog dari Universitas Indonesia, yang pernah meneliti suku Baduy selama beberapa tahun. “Yang amat menggembirakan, tingkah laku yang meneladani moralitas utama, menjadi acuan utama bagi kepribadian dan perilaku orang Baduy dalam kehidupan mereka sehari-hari. Perkataan dan tindakan mereka pun polos, jujur tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar. Karena itu, banyak merasa senang jika berurusan dengan orang Baduy karena mereka pantang merugikan orang lain”, ujarnya lagi.

Untuk menjaga kemurnian adat dari pencemaran budaya luar yang dibawa para wisatawan dalam mengunjungi kawasan pemukiman kaum Baduy, sesekali jaro (kepala desa) Baduy Dalam melakukan sidak ke desa Baduy Luar. Itu untuk meneliti apakah ada benda-benda yang bisa melunturkan kepercayaan mereka. Mereka kadang menyita radio yang dianggap melunturkan kepercayaan adat mereka. Selama ini, tanpa bunyi sepeda motor, radio, televisi dan mesin apa saja apa saja yang menimbulkan asap dan bunyi-bunyian, maka desa-desa Baduy adalah titik tenang. Bunyi gemeletak alat penenun menjadi irama lembut yang menemani keheningan alam di sana.

Akan tetapi, amatlah sukar menjaga keheningan tetap bertahan dalam dunia modern yang serba hiruk pikuk ini.  Misalnya kini, mulai tampak anak-anak Baduy yang “meninggalkan” pakaian tradisional mereka, berupa kain tenunan tangan dengan warna hitam dan putih, dengan memakai kaos ala seragam kesebelasan sepakbola Italia yang “berteriak” dengan warna-warni meriah. Mereka yang selama ini menabukan jual beli dan penggunaan uang, dengan menetapkan pola barter, akhirnya mulai terlibat proses dagang.


Dalam melaksanakan upacara tertentu, masyarakat Baduy menggunakan kesenian untuk memeriahkannya. Adapun keseniannya yaitu:
1. Seni Musik (Lagu daerah yaitu Cikarileu dan Kidung ( pantun) yang digunakan dalam acara pernikahan).
2. Alat musik (Angklung Buhun dalam acara menanan padi dan alat musik kecapi)
3. Seni Ukir Batik.

  Suku Baduy yang merupakan suku tradisional di Provinsi Banten hampir mayoritasnya mengakui kepercayaan sunda wiwitan.
Yang mana kepercayaan ini meyakini akan adanya Allah sebagai “Guriang Mangtua” atau disebut pencipta alam semesta dan melaksanakan kehidupan sesuai ajaran Nabi Adam sebagai leluhur yang mewarisi kepercayaan turunan ini.                         
Kepercayaan sunda wiwitan berorientasi pada bagaimana menjalani kehidupan yang mengandung ibadah dalam berperilaku, pola kehidupan sehari-hari,langkah dan ucapan, dengan melalui hidup yang mengagungkan kesederhanaan (tidak bermewah-mewah) seperti tidak mengunakanlistrik,tembok,mobildll.
Ada beberapa kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Baduy menurut kepercayaan sunda wiwitan:
1. Upacara Kawalu yaitu upacara yang dilakukan dalam rangka menyambut bulan kawalu yang dianggap suci dimana pada bulan kawalu masyarakat baduy melaksanakan ibadah puasa selama 3 bulan yaitu bulan Kasa,Karo, dan Katiga.

2. Upacara ngalaksa yaitu upacara besar yang dilakukan sebagain uacapan syukur atas terlewatinya bulan-bulan kawalu, setelah melaksanakan puasa selama 3 bulan. Ngalaksa atau yang bsering disebut lebaran.

3. Seba yaitu berkunjung ke pemerintahan daerah atau pusat yang bertujuan merapatkan tali silaturahmi antara masyarakat baduy dengan pemerintah, dan merupakan bentuk penghargaan dari masyarakat baduy.

4. Upacara menanam padi dilakukan dengan diiringi angklung buhun sebagai penghormatan kepada dewi sri lambing kemakmuran.

Upacara Kelahiran yang dilakukan suku Baduy melalui urutan kegiatan yaitu:
 1. Kendit yaitu upacara 7 bulanan ibu yang sedang hamil.
 2. Saat bayi itu lahir akan dibawa ke dukun atau paraji untiuk dijampi-jampi.
 3. Setelah 7 hari setelah kelahiran maka akan diadakan acara perehan atau    selametan.
 4. Upacara Angiran yang dilakukan pada hari ke 40 setelah kelahiran.
 5. Akikah yaiotu dilakukannya cukuran, khitanan dan pemberian nama oleh dukun(kokolot) yuang didapat dari bermimpi dengan mengorbankan ayam.

Perkawinan, dilakukan berdasarkan perjodohan dan dilakukan oleh dukun atau kokolot menurut lembaga adat (Tangkesan) sedangkan Naib sebagai penghulunya. Adapun mengenai mahar atau seserahan yakni sirih, uang semampunya, dan kain poleng.
Dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari tentunya masyarakat baduy disesuaikan dengan penanggalan:
Bulan Kasa               
Bulan
Bulan Sapar Karo            
Bulan Katilu           
Bulan Kalima         
Bulan Kaanem       
Bulan Kapitu
Bulan Kadalapan
Bulan Kasalapan
Bulan Kasapuluh                                                                         
Bulan Hapid Lemah
Bulan Hapid Kayu

Seperti yang telah diketahui akan kebudayaan suku ini yang kental akan mitos, apabila ada masyarakat baduy yang melanggar asalah satu pantangan maka akan dikenai hukuman berupa diasingkan ke hulu atau dipenjara oleh pihak polisi yang berwajib

Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apapun", atau perubahan sesedikit mungkin:
Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.
(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar