Sebagai
bagian dari wilayah Kesultanan Banten, Kabupaten Lebak dengan luas Wilayah
304.472 Ha, sejarahnya tidak dapat dipisahkan dari sejarah Kesultanan Banten.
Berkaitan dengan Hari Jadi Kabupaten Lebak yang jatuh pada tanggal 2 Desember 1828, terdapat beberapa catatan sejarah yang menjadi dasar pertimbangan, antara lain :
1.Pembagian Wilayah Kesultanan Banten
Pada tanggal 19 Maret 1813, Kesultanan Banten dibagi 4 wilayah yaitu :
- Wilayah Banten Lor
- Wilayah Banten Kulon
- Wilayah Banten Tengah
- Wilayah Banten Kidul
Ibukota Wilayah Banten Kidul terletak di Cilangkahan dan pemerintahannya dipimpin oleh Bupati yang diangkat oleh Gubernur Jendral Inggris (RAFFLES) yaitu TUMENGGUNG SURADILAGA.
2. Pembagian Wilayah Keresidenan Banten
Berdasarkan Surat Keputusan Komisaris Jenderal Nomor 1, Staatsblad Nomor 81 tahun 1828, Wilayah Keresidenan Banten dibagi menjadi 3 (tiga) Kabupaten yaitu :
- Kabupaten Serang
- Kabupaten Caringin
- Kabupaten Lebak
Wilayah Kabupaten Lebak, berdasarkan pembagian diatas memiliki batas-batas yang meliputi District dan Onderdistrict yaitu :
a. District Sajira, yang terdiri dari Onderdistrict Ciangsa, Somang dan Onderdistrict Sajira,
b. District Lebak Parahiang, yang terdiri dari Onderdistrict Koncang dan Lebak Parahiang.
c. District Parungkujang, yang terdiri dari Onderdistrict Parungkujang dan Kosek,
d. District Madhoor (Madur) yang terdiri dari Onderdisrict Binuangeun, Sawarna dan Onderdistrict Madhoor (Madur).
3. Pemindahan Ibukota Kabupaten Lebak
Pada tahun 1851, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, nomor 15 tanggal 17 Januari 1849, Ibukota Kabupaten Lebak yang saat itu berada di Warunggunung dipindahkan ke Rangkasbitung. Pelaksanaan pemindahannya secara resmi baru dilaksanakan pada tanggal 31 Maret 1851.
4. Perubahan Wilayah Kabupaten Lebak
Wilayah Kabupaten Lebak yang pada tahun 1828 memiliki District, dengan terbitnya Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 29 Oktober 1828, Staatsblad nomor 266 tahun 1828, diubah menjadi :
- District Rangkasbitung, meliputi Onderdistrict Rangkasbitung, Kolelet Wetan, Warunggunung dan Onderdistrict Cikulur.
- District Lebak, meliput Onderdistrict Lebak, Muncang, Cilaki dan Cikeuyeup.
- District Sajira meliputi Onderdistrict Sajira, Saijah, Candi dan Maja.
- District Parungkujang, meliputi Onderdistrict Parungkujang, Kumpay, Cileles dan Bojongmanik.
- District Cilangkahan, meliputi Onderdistrict Cilangkahan, Cipalabuh, Cihara dan Bayah.
Berkaitan dengan Hari Jadi Kabupaten Lebak yang jatuh pada tanggal 2 Desember 1828, terdapat beberapa catatan sejarah yang menjadi dasar pertimbangan, antara lain :
1.Pembagian Wilayah Kesultanan Banten
Pada tanggal 19 Maret 1813, Kesultanan Banten dibagi 4 wilayah yaitu :
- Wilayah Banten Lor
- Wilayah Banten Kulon
- Wilayah Banten Tengah
- Wilayah Banten Kidul
Ibukota Wilayah Banten Kidul terletak di Cilangkahan dan pemerintahannya dipimpin oleh Bupati yang diangkat oleh Gubernur Jendral Inggris (RAFFLES) yaitu TUMENGGUNG SURADILAGA.
2. Pembagian Wilayah Keresidenan Banten
Berdasarkan Surat Keputusan Komisaris Jenderal Nomor 1, Staatsblad Nomor 81 tahun 1828, Wilayah Keresidenan Banten dibagi menjadi 3 (tiga) Kabupaten yaitu :
- Kabupaten Serang
- Kabupaten Caringin
- Kabupaten Lebak
Wilayah Kabupaten Lebak, berdasarkan pembagian diatas memiliki batas-batas yang meliputi District dan Onderdistrict yaitu :
a. District Sajira, yang terdiri dari Onderdistrict Ciangsa, Somang dan Onderdistrict Sajira,
b. District Lebak Parahiang, yang terdiri dari Onderdistrict Koncang dan Lebak Parahiang.
c. District Parungkujang, yang terdiri dari Onderdistrict Parungkujang dan Kosek,
d. District Madhoor (Madur) yang terdiri dari Onderdisrict Binuangeun, Sawarna dan Onderdistrict Madhoor (Madur).
3. Pemindahan Ibukota Kabupaten Lebak
Pada tahun 1851, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, nomor 15 tanggal 17 Januari 1849, Ibukota Kabupaten Lebak yang saat itu berada di Warunggunung dipindahkan ke Rangkasbitung. Pelaksanaan pemindahannya secara resmi baru dilaksanakan pada tanggal 31 Maret 1851.
4. Perubahan Wilayah Kabupaten Lebak
Wilayah Kabupaten Lebak yang pada tahun 1828 memiliki District, dengan terbitnya Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 29 Oktober 1828, Staatsblad nomor 266 tahun 1828, diubah menjadi :
- District Rangkasbitung, meliputi Onderdistrict Rangkasbitung, Kolelet Wetan, Warunggunung dan Onderdistrict Cikulur.
- District Lebak, meliput Onderdistrict Lebak, Muncang, Cilaki dan Cikeuyeup.
- District Sajira meliputi Onderdistrict Sajira, Saijah, Candi dan Maja.
- District Parungkujang, meliputi Onderdistrict Parungkujang, Kumpay, Cileles dan Bojongmanik.
- District Cilangkahan, meliputi Onderdistrict Cilangkahan, Cipalabuh, Cihara dan Bayah.
5. Tanggal
14 Agustus 1925
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 14 Agustus 1925, Staatsblad nomor 381 tahun 1925 Kabupaten Lebak menjadi daerah Pemerintahan yang berdiri sendiri dengan wilayah meliputi District Parungkujang, Rangkasbitung, Lebak dan Cilangkahan.
6. Tanggal 8 Agustus 1950
Undang-undang Nomor 14 tahun 1950 tentang Pembentukan daerah-daerah Kabupaten dalam lingkungan Propinsi Jawa Barat.
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 14 Agustus 1925, Staatsblad nomor 381 tahun 1925 Kabupaten Lebak menjadi daerah Pemerintahan yang berdiri sendiri dengan wilayah meliputi District Parungkujang, Rangkasbitung, Lebak dan Cilangkahan.
6. Tanggal 8 Agustus 1950
Undang-undang Nomor 14 tahun 1950 tentang Pembentukan daerah-daerah Kabupaten dalam lingkungan Propinsi Jawa Barat.
Berdasarkan
rangkaian sejarah tersebut kami berpendapat bahwa titi mangs tepat
untuk ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Lebak adalah tanggal 2 Desember
1828, dengan dasar pemikiran dan pertimbangan sebagai berikut :
a. Tanggal 2 Desember 1828, berdasarkan Staatsblad Nomor 81 tahun 1828 merupakan titik awal pembentukan 3 (tiga) Kabupaten di wilayah bekas Kesultanan Banten dan nama Lebak mulai diabadikan menjadi nama Kabupaten dengan batas-batas wilayah yang lebih jelas sebagaimana tercantum dalam pembagian wilayah ke dalam District dan Onderdistrict (Kewedanaan dan Kecamatan). Walaupun terdapat perubahan nama dan penataan kembali wilayah District dan Onderdistrict tersebut, wilayah Kabupaten Lebak dalam perkembangan selanjutnya sebagaimana tertuang dalam Staatsblad nomor 226 tahun 1828, Staatsblad nomor 381 tahun 1925 dan Undang-undang nomor 14 tahun 1950, merupakan wilayah Kabupaten Lebak sebagaimana adanya saat ini.
a. Tanggal 2 Desember 1828, berdasarkan Staatsblad Nomor 81 tahun 1828 merupakan titik awal pembentukan 3 (tiga) Kabupaten di wilayah bekas Kesultanan Banten dan nama Lebak mulai diabadikan menjadi nama Kabupaten dengan batas-batas wilayah yang lebih jelas sebagaimana tercantum dalam pembagian wilayah ke dalam District dan Onderdistrict (Kewedanaan dan Kecamatan). Walaupun terdapat perubahan nama dan penataan kembali wilayah District dan Onderdistrict tersebut, wilayah Kabupaten Lebak dalam perkembangan selanjutnya sebagaimana tertuang dalam Staatsblad nomor 226 tahun 1828, Staatsblad nomor 381 tahun 1925 dan Undang-undang nomor 14 tahun 1950, merupakan wilayah Kabupaten Lebak sebagaimana adanya saat ini.
Sebelum
adanya Staatsblad nomor 81 tahun 1828, selain nama Lebak belum pernah
diabadikan batas wilayah untuk Kabupaten yang ada di wilayah Banten
karena belum adanya kejelasan yang dapat dijadikan dasar penetapan.
b. Tanggal 2 Desember 1828 yang bertepatan dengan saat diterbitkannya Staatsblad nomor 81 tahun1828, tidak dijadikan dasar penetapan sebagai Hari Jadi bagi dua Kabupaten lainnya, yaitu Kabupaten Serang dan Pandeglang.
b. Tanggal 2 Desember 1828 yang bertepatan dengan saat diterbitkannya Staatsblad nomor 81 tahun1828, tidak dijadikan dasar penetapan sebagai Hari Jadi bagi dua Kabupaten lainnya, yaitu Kabupaten Serang dan Pandeglang.
Upaya yang dilakukan Pemerintah
Kabupaten Lebak beserta seluruh aparat serta dukungan seluruh masyarakat
Kabupaten Lebak melalui wakil-wakilnya di DPRD, telah berhasil menentukan
Hari Jadi Kabupaten Lebak dengan lahirnya Keputusan DPRD nomor
14/172.2/D-II/SK/X/1986, yang memutuskan untuk menerima dan menyetujui
bahwa Hari Jadi Kabupaten Lebak jatuh pada tanggal 2 Desember 1828
beserta rancangan peraturan daerahnya.
A. Lambang Berbentuk Perisai
Benteng atau Perisai tanda kekayaan dan ketangguhan, sanggup menghadapi segala rintangan tantangan
B. Warna Dasar Kuning
Warna Emas dalam arti Kalimat (letterliyk), Lebak mempunyai tambang emas Cikotok dan kekayaan alam lainnya. Arti kiasan (fuugurliyk), pernah mengalami jaman keemasan dalam sejarahnya dan dengan kemerdekaan RI akan menuju ke jaman itu kembali dengan lebih maju.
C. Kubah Masjid Warna Putih
Lambang Jiwa Agama Islam dalam bathin penduduk. Putih tanda suci dalam hati dan perbuatan, suka damai dan toleransi (tasamuh).
D. Angklung Warna Hitam
Lambang seni, berkaki enam buah tanda gotong royong. Ciri khas kesenian asli lebak bermitos agama. Hitam, bahwa di Lebak masih tinggal Suku Asli Kanekes yang walaupun berada di tempat yang masih diselimuti kegelapan (Daerah Pegunungan Kendeng), pada hakekatnya mereka menyimpan sifat-sifat kebaikan yang murni dan apabila telah masuk sinar yang terang ke dalam lubuk hatinya, kebaikan akan menonjol lebih nyata, sebagai manifestasi jiwa yang asli.
E. Warna Biru Polos
Lambang lautan bahwa daerah Lebak memiliki Samudera Indonesia yang luas dan dalam, yang menghasilkan ikan dan hasil laut lainnya.
F. Warna Biru Di Antara Hijau Melurus Ke Bawah Dan Bersatu Dengan Biru Sebelah Kiri Bawah
Lambang sungai, diantaranya tiga buah sungai besar seperti Cisimeut dan Ciberang, bersatu dengan Ciujung yang walaupun berlainan asal hulunya (sumbernya) tetapi menjadi satu.
Lambang berukuran, ketenangan dan ke dalam lubuk hati rakyatnya. Walaupun berlainan asal sukunya berarti mewujudkan sosial untuk kepentingan umum.
G. Pita Berwarna Merah Putih
Warna merah, tanda hidup dan berani. Warna putih tanda suci. Benteng atau perisai tanda kekayaan dan keteguhan sanggup menghadapi segala rintangan.
Benteng atau Perisai tanda kekayaan dan ketangguhan, sanggup menghadapi segala rintangan tantangan
B. Warna Dasar Kuning
Warna Emas dalam arti Kalimat (letterliyk), Lebak mempunyai tambang emas Cikotok dan kekayaan alam lainnya. Arti kiasan (fuugurliyk), pernah mengalami jaman keemasan dalam sejarahnya dan dengan kemerdekaan RI akan menuju ke jaman itu kembali dengan lebih maju.
C. Kubah Masjid Warna Putih
Lambang Jiwa Agama Islam dalam bathin penduduk. Putih tanda suci dalam hati dan perbuatan, suka damai dan toleransi (tasamuh).
D. Angklung Warna Hitam
Lambang seni, berkaki enam buah tanda gotong royong. Ciri khas kesenian asli lebak bermitos agama. Hitam, bahwa di Lebak masih tinggal Suku Asli Kanekes yang walaupun berada di tempat yang masih diselimuti kegelapan (Daerah Pegunungan Kendeng), pada hakekatnya mereka menyimpan sifat-sifat kebaikan yang murni dan apabila telah masuk sinar yang terang ke dalam lubuk hatinya, kebaikan akan menonjol lebih nyata, sebagai manifestasi jiwa yang asli.
E. Warna Biru Polos
Lambang lautan bahwa daerah Lebak memiliki Samudera Indonesia yang luas dan dalam, yang menghasilkan ikan dan hasil laut lainnya.
F. Warna Biru Di Antara Hijau Melurus Ke Bawah Dan Bersatu Dengan Biru Sebelah Kiri Bawah
Lambang sungai, diantaranya tiga buah sungai besar seperti Cisimeut dan Ciberang, bersatu dengan Ciujung yang walaupun berlainan asal hulunya (sumbernya) tetapi menjadi satu.
Lambang berukuran, ketenangan dan ke dalam lubuk hati rakyatnya. Walaupun berlainan asal sukunya berarti mewujudkan sosial untuk kepentingan umum.
G. Pita Berwarna Merah Putih
Warna merah, tanda hidup dan berani. Warna putih tanda suci. Benteng atau perisai tanda kekayaan dan keteguhan sanggup menghadapi segala rintangan.
Jumlah Kecamatan, Desa/Kelurahan
Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah
yang berwenang untuk mengatur dan mengurus masyarakat setempat, berdasarkan
asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem
Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia; sedangkan Kelurahan adalah
wilayah kerja lurah sebagai Perangkat Daerah dalam wilayah kerja kecamatan.
Jumlah Desa dan Kelurahan di Kabupaten Lebak pada tahun 2008 sebanyak 340 desa
dan 5 Kelurahan yang tersebar di 28 Kecamatan. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3
Jumlah Desa/Kelurahan Menurut Kecamatan di Kab. Lebak Tahun 2008
No.
|
Kecamatan
|
Desa
|
Kelurahan
|
|
1
|
Malingping
|
14
|
-
|
|
2
|
Wanasalam
|
13
|
-
|
|
3
|
Panggarangan
|
11
|
-
|
|
4
|
Bayah
|
11
|
-
|
|
5
|
Cilograng
|
10
|
-
|
|
6
|
Cibeber
|
22
|
-
|
|
7
|
Cijaku
|
10
|
-
|
|
8
|
Banjarsari
|
20
|
-
|
|
9
|
Cileles
|
12
|
-
|
|
10
|
Gunungkencana
|
12
|
-
|
|
11
|
Bojongmanik
|
9
|
-
|
|
12
|
Leuwidamar
|
12
|
-
|
|
13
|
Muncang
|
12
|
-
|
|
14
|
Sobang
|
10
|
-
|
|
15
|
Cipanas
|
14
|
-
|
|
16
|
Sajira
|
15
|
-
|
|
17
|
Cimarga
|
17
|
-
|
|
18
|
Cikulur
|
13
|
-
|
|
19
|
Warunggunung
|
12
|
-
|
|
20
|
Cibadak
|
15
|
-
|
|
21
|
Rangkasbitung
|
11
|
5
|
|
22
|
Maja
|
14
|
-
|
|
23
|
Curugbitung
|
10
|
-
|
|
24
|
Cihara
|
9
|
-
|
|
25
|
Cigemblong
|
9
|
-
|
|
26
|
Cirinten
|
10
|
-
|
|
27
|
Lebakgedong
|
6
|
-
|
|
28
|
Kalanganyar
|
7
|
-
|
|
Jumlah
|
340
|
5
|
||
Sumber : BPS Kab. Lebak, 2008
Perlu diketahui, bahwa pada tahun 2006 jumlah desa/kelurahan di Kabupaten
Lebak sebanyak 315 desa dan 5 kelurahan. Seiring dengan semakin meningkatnya
jumlah penduduk dan volume kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan
masyarakat desa, maka dikeluarkan Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 1
Tahun 2008 mengenai pemekaran 25 desa di Kabupaten Lebak yang pada akhirnya
jumlah desa/kelurahan berjumlah 340 desa dan 5 Kelurahan.
Guna meningkatkan kinerja pemerintahan desa, perlu ditunjang dengan
sarana kantor desa yang memadai. Untuk lebih jelasnya kondisi kantor desa dapat
dilihat pada tabel 4 berikut ini :
Tabel 4
Kondisi Kantor Desa/Kelurahan di Kabupaten Lebak Tahun 2008
No.
|
Kecamatan
|
Jumlah Desa
|
Kondisi Bangunan Kantor Desa
|
|||
Baik
|
Sedang
|
Rusak
|
Belum Punya
|
|||
1.
|
Rangkasbitung
|
16
|
4
|
15
|
1
|
1
|
2.
|
Kalanganyar
|
7
|
-
|
6
|
1
|
-
|
3.
|
Cibadak
|
15
|
-
|
4
|
2
|
6
|
4.
|
Warunggunung
|
12
|
-
|
4
|
8
|
-
|
5.
|
Cikulur
|
13
|
11
|
-
|
2
|
-
|
6.
|
Maja
|
14
|
2
|
7
|
3
|
2
|
7.
|
Sajira
|
15
|
2
|
7
|
6
|
-
|
8.
|
Curugbitung
|
10
|
-
|
7
|
-
|
3
|
9.
|
Cipanas
|
14
|
3
|
4
|
5
|
2
|
10.
|
Lebakgedong
|
6
|
1
|
-
|
2
|
3
|
11.
|
Cimarga
|
17
|
3
|
1
|
2
|
11
|
12.
|
Leuwidamar
|
12
|
4
|
1
|
6
|
1
|
13.
|
Muncang
|
12
|
1
|
3
|
-
|
8
|
14.
|
Sobang
|
10
|
5
|
3
|
-
|
2
|
15.
|
Bojongmanik
|
9
|
2
|
-
|
3
|
6
|
16.
|
Cirinten
|
10
|
2
|
-
|
3
|
5
|
17.
|
Gunungkencana
|
12
|
7
|
-
|
4
|
1
|
18.
|
Cileles
|
12
|
-
|
11
|
-
|
1
|
19.
|
Banjarsari
|
20
|
4
|
-
|
6
|
7
|
20.
|
Cijaku
|
10
|
1
|
-
|
6
|
3
|
21.
|
Cigemblong
|
9
|
-
|
2
|
7
|
-
|
22.
|
Malingping
|
14
|
-
|
7
|
6
|
1
|
23.
|
Wanasalam
|
13
|
3
|
7
|
2
|
1
|
24.
|
Panggarangan
|
11
|
6
|
3
|
1
|
1
|
25.
|
Cihara
|
9
|
-
|
2
|
6
|
-
|
26.
|
Bayah
|
11
|
-
|
4
|
3
|
4
|
27.
|
Cilograng
|
10
|
2
|
4
|
3
|
1
|
28.
|
Cibeber
|
22
|
3
|
3
|
14
|
2
|
JUMLAH
|
345
|
66
|
105
|
102
|
72
|
Sumber : BP2KBMPD Kab. Lebak, 2008
Status tanah yang dimiliki oleh kantor desa/kelurahan sebagian besar
berstatus tanah desa yaitu sebesar 66,25%, sebagian lagi berstatus tanah
pribadi sebesar 4,37% dan hibah sebesar 1,56%.
Banten merupakan sebuah provinsi di sebelah barat Pulau Jawa memiliki moto “Iman Taqwa”. Moto ini mengartikan bahwa seluruh masyarakat Banten adalah orang-orang yang memiliki agama atau kepercayaan yang kuat dan mendominasi hampir seluruh kehidupan mereka. Ibu kota Banten adalah Serang. Hari jadi provinsi Banten adalah 4 Oktober 2000. Titik koordinat wilayah Banten adalah 5° 7' 50" - 7° 1' 11" LS dan 105° 1' 11" - 106° '12" BT.
Untuk saat ini
pemerintahan Provinsi banten dipimpin oleh Gubernur Hj. Ratu Atut Chosiyah.
Luas wilayah Banten sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23
tahun 2000 adalah 9.160,70 km2, dengan Populasi 10.644.030 jiwa, dan
kepadatan 1.161,9/km².
Demografi Banten
sendiri terdiri dari Suku bangsa Banten dengan presentase sebesar
47% dari jumlah penduduk, Sunda dengan presentase sebesar 23% dari jumlah
penduduk, dengan presentase sebesar Jawa 12% dari jumlah penduduk, dengan
presentase sebesar Betawi 9,62% dari jumlah penduduk, Tionghoa dengan
presentase sebesar 1,1% dari jumlah penduduk, Batak dengan presentase
sebesar 0,93% dari jumlah penduduk, Minangkabau dengan presentase sebesar
0,81%, dari jumlah penduduk Lain-lain dengan presentase sebesar 54%
dari jumlah penduduk. Mereka berbahasa Sunda, Jawa Banten, Indonesia, dan
Betawi. Dan kebanyakan mereka memeluk agama Islam, karena hampir 96,6% jumlah
presentase pemeluk agama islam. Sedangkan yang beragama Kristen 1,2%, Katolik
1%, Buddha 0,7%, dan Hindu 0,4%.
Wilayah laut
Banten merupakan salah satu jalur laut potensial selain karena batas daerahnya.
Batas daerah Banten sebelah utara adalah Laut Jawa, yang dikenal dengan potensi
perikanan yang cukup bagus bagi Jawa. Kemudian sebelah Barat berbatasan dengan
Selat Sunda, yang merupakan merupakan salah satu jalur lalu lintas laut yang
strategis karena dapat dilalui kapal besar yang menghubungkan Australia dan Selandia
Baru dengan kawasan Asia Tenggara misalnya Thailand, Malaysia, dan Singapura.
Disebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia, yang berpotensi untuk
memperkaya mata pencarian penduduknya, dengan berlayar mencari ikan besar. Dan
yang terakhir di sebelah timur, yang berbatasan dengan DKI Jakarta dan Jawa
Barat.
Di samping itu
Banten merupakan jalur penghubung antara Jawa dan Sumatera. Bila dikaitkan
posisi geografis dan pemerintahan maka wilayah Banten terutama daerah Tangerang
raya (Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, dan Kota Tangerang selatan)
merupakan wilayah penyangga bagi Jakarta. Secara ekonomi wilayah Banten
memiliki banyak industri. Wilayah Provinsi Banten juga memiliki beberapa
pelabuhan laut yang dikembangkan sebagai antisipasi untuk menampung kelebihan
kapasitas dari pelabuhan laut di Jakarta dan ditujukan untuk menjadi pelabuhan
alternatif selain Singapura.
Iklim Banten
sendiri adalah Iklim Tropis. Daerah Banten terbagi menjadi 8 daerah
kabupaten/kota. Diantaranya adalah Kota Tangerang Selatan, Ciputat, Kota
Cilegon, Kota Serang, Kota Tangerang, Kabupaten
Pandeglang
Pandeglang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Serang, dan Kabupaten Tangerang.
Di Provinsi
Banten terdapat suku asli, yaitu Suku Baduy. Suku Baduy Dalam merupakan suku
asli Sunda Banten yang masih menjaga tradisi anti modernisasi, baik cara
berpakaian maupun pola hidup lainnya. Perkampungan masyarakat Baduy umumnya
terletak di daerah aliran Sungai Ciujung di Pegunungan Kendeng. Daerah ini
dikenal sebagai wilayah tanah titipan dari nenek moyang, yang harus
dipelihara dan dijaga baik-baik, tidak boleh dirusak. Masyarakat Baduy memiliki
tanah adat kurang lebih sekitar 5.108 hektar yang terletak di Pegunungan
Keundeng. Mereka memiliki prinsip hidup cinta damai, tidak mau berkonflik dan
taat pada tradisi lama serta hukum adat.
Kadang kala suku
Baduy juga menyebut dirinya sebagai orang Kanekes, karena berada di Desa
Kanekes. Mereka berada di wilayah Kecamatan Leuwidamar. Perkampungan mereka berada
di sekitar aliran sungai Ciujung dan Cikanekes di Pegunungan Keundeng. Atau
sekitar 172 km sebelah barat ibukota Jakarta dan 65 km sebelah selatan ibu kota
Serang.
Masyarakat suku
Baduy sendiri terbagi dalam tiga kelompok. Kelompok terbesar disebut dengan
Baduy Luar atau Urang Panamping yang tinggal disebelah utara Kanekes. Mereka
berjumlah sekitar 7 ribuan yang menempati 28 kampung dan 8 anak kampung. Mereka
tinggal di desa Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, yang
mengelilingi wilayah baduy dalam. Masyarakat Baduy Luar berciri khas mengenakan
pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. Suku Baduy Luar biasanya sudah
banyak berbaur dengan masyarakat Sunda lainnya. selain itu mereka juga sudah
mengenal kebudayaan luar, seperti bersekolah.
Sementara di
bagian selatannya dihuni masyarakat Baduy Dalam atau Urang Dangka. Diperkirakan
mereka berjumlah 800an orang yang tersebar di Kampung Cikeusik, Cibeo dan
Cikartawana. Kelompok tangtu (baduy dalam). Suku Baduy Dalam tinggal di
pedalaman hutan dan masih terisolir dan belum masuk kebudayaan luar. Memiliki
kepala adat yang membuat peraturan-peraturan yang harus dipatuhi biasa disebut
Pu’un. Orang Baduy dalam tinggal di 3 kampung,yaitu Cibeo, Cikartawana, dan
Cikeusik.
Kelompok Baduy
Dangka, mereka tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2
kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam).
Kedua kelompok ini memang memiliki ciri yang beda. Bila Baduy Dalam menyebut
Baduy Luar dengan sebutan Urang Kaluaran, sebaliknya Badui Luar menyebut Badui
Dalam dengan panggilan Urang Girang atau Urang Kejeroan. Ciri lainnya, pakaian
yang biasa dikenakan Baduy Dalam lebih didominasi berwarna putih-putih.
Sedangkan, Baduy Luar lebih banyak mengenakan pakaian hitam dengan ikat kepala
bercorak batik warna biru.
Masyarakat Baduy
sangat taat pada pimpinan yang tertinggi yang disebut Puun. Puun ini bertugas
sebagai pengendali hukum adat dan tatanan kehidupan masyarakat yang menganut
ajaran Sunda Wiwitan peninggalan nenek moyangnya. Setiap kampung di Baduy Dalam
dipimpin oleh seorang Puun, yang tidak boleh meninggalkan kampungnya. Pucuk
pimpinan adat dipimpin oleh Puun Tri Tunggal, yaitu Puun Sadi di Kampung
Cikeusik, Puun Janteu di Kampung Cibeo dan Puun Kiteu di Cikartawana. Sedangkan
wakilnya pimpinan adat ini disebut Jaro Tangtu yang berfungsi sebagai juru
bicara dengan pemerintahan desa, pemerintah daerah atau pemerintah pusat. Di
Baduy Luar sendiri mengenal sistem pemerintahan kepala desa yang disebut Jaro
Pamerentah yang dibantu Jaro Tanggungan, Tanggungan dan Baris Kokolot.
Mata pencarian
masyarakat Baduy yang paling utama adalah bercocok tanam padi huma dan berkebun
serta membuat kerajinan koja atau tas dari kulit kayu, mengolah gula aren,
tenun dan sebagian kecil telah mengenal berdagang. Kepercayaan yang dianut
masyarakat Kanekes adalah Sunda Wiwitan.didalam baduy dalam, Ada semacam
ketentuan tidak tertulis bahwa ras keturunan Mongoloid, Negroid dan Kaukasoid
tidak boleh masuk ke wilayah Baduy Dalam. Jika semua ketentuan adat ini di
langgar maka akan kena getahnya yang disebut kuwalat atau pamali adalah suku
Baduy sendiri.
Adapun sebutan
siku Baduy menurut cerita adalah asalnya dari kata Badui, yakni sebutan dari
golongan/ kaum Islam yang maksudnya karena suku itu tidak mau mengikuti dan
taat kepada ajaran agama Islam, sedangkan disaudi Arabia golongan yang seperti
itu disebut Badui maksudnya golongan yang membangkang tidak mau tunduk dan
sulit di atur sehingga dari sebutan Badui inilah menjadi sebutan Suku Baduy.
Konon pada
sekitar abad ke XI dan XII Kerajaan Pajajaran menguasai seluruh tanah Pasundan
yakni dari Banten, Bogor, priangan samapai ke wilayah Cirebon, pada waktu itu
yang menjadi Rajanya adalah PRABU BRAMAIYA MAISATANDRAMAN dengan gelar PRABU
SILIWANGI.
Kemudian pada
sekitar abad ke XV dengan masuknya ajaran Agama Islam yang dikembangkan oleh
saudagar-saudagar Gujarat dari Saudi Arabia dan Wali Songo dalam hal ini adalah
SUNAN GUNUNG JATI dari Cirebon, dari mulai Pantai Utara sampai ke selatan
daerah Banten, sehingga kekuasaan Raja semakin terjepit dan rapuh dikarenakan
rakyatnya banyak yang memasuki agama Islam. Akhirnya raja beserta senopati dan
para ponggawa yang masih setia meninggalkan keraan masuk hutan belantara kearah
selatan dan mengikuti Hulu sungai, mereka meninggalkan tempat asalnya dengan
tekad seperti yang diucapkan pada pantun upacara Suku Baduy “ Jauh teu puguh nu
dijugjug, leumpang teu puguhnu diteang , malipir dina gawir, nyalindung dina
gunung, mending keneh lara jeung wiring tibatan kudu ngayonan perang jeung
paduduluran nu saturunan atawa jeung baraya nu masih keneh sa wangatua”
Artinya : jauh
tidak menentu yang tuju ( Jugjug ),berjalan tanpa ada tujuan, berjalan ditepi
tebing, berlindung dibalik gunung, lebih baik malu dan hina dari pada harus
berperang dengan sanak saudara ataupun keluarga yang masih satu turunan “
Suku baduy masih
setia dengan adat istiadatnya yang menjalani kehidupan seperti leluhurnya. Tak
heran, jika orang Baduy Dalam hingga kini tetap pantang menggunakan sabun,
menumpang mobil atau mengendarai sepeda motor. Bahkan tak pernah bersepatu.
Jika bepergian ke Jakarta misalnya, mereka tempuh dengan berjalan kaki selama
tiga hari tiga malam. Daftar pantangan tabu bagi mereka masih berderet: Tak
bersekolah, menggunakan kaca, menggunakan paku besi, pantang mengkonsumsi
alkohol dan berternak binatang yberkaki empat, dan masih banyak lagi.
Prinsip kearifan
yang dipatuhi secara turun temurun oleh masyarakat Baduy ini membuat mereka
tampil sebagai sebuah masyarakat yang mandiri, baik secara sosial maupun secara
ekonomi. Karena itu, ketika badai krisis keuangan global melanda dunia, dan
merontokkan pertahanan ekonomi kita di awal tahun milennium ini, suku Baduy
terbebas dari kesulitan itu. Hal itu berkat kemandirian mereka yang diterapkan
dalam prinsip hidup sehari-hari.
Orang Baduy tak
saja mandiri dalam memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Mereka tak
membeli beras, tapi menanam sendiri. Mereka tak membeli baju, tapi menenun kain
sendiri.. Kayu sebagai bahan pembuat rumah pun mereka tebang di hutan mereka,
yang keutuhan dan kelestariannya tetap terjaga. “Dari 5.136,8 hektar kawasan
hutan di Baduy, sekitar 3.000 hektar hutan dipertahankan untuk menjaga 120
titik mata air”, kata Jaro Dainah, kepala pemerintahan (jaro pamarentah) suku
Baduy.
Kemandirian
mereka dari hasrat mengonsumsi sebagaimana layaknya orang kota, antara lain
tampak pada beberapa hal lainnya. Untuk penerangan, mereka tak menggunakan
listrik. Dalam bercocok tanam, mereka tak menggunakan pupuk buatan pabrik. Mereka
juga membangun dan memenuhi sendiri kebutuhan untuk pembangunan insfrasuktur
seperti jalan desa, lumbung padi, dan sebagainya.
Orang tak bisa
menuding begitu saja, bahwa suku Baduy Dalam terbelakang. Ternyata, mereka
menguasai teknik pertanian dan bercocok tanam dengan baik, sembari tetap
menjaga kelestarian lingkungan. “Mereka memang tak bersekolah. Belajar di
ladang dan menimba kearifan hidup di alam terbuka adalah sekolah mereka”, tutur
Boedihartono, antropolog dari Universitas Indonesia, yang pernah meneliti suku
Baduy selama beberapa tahun. “Yang amat menggembirakan, tingkah laku yang
meneladani moralitas utama, menjadi acuan utama bagi kepribadian dan perilaku
orang Baduy dalam kehidupan mereka sehari-hari. Perkataan dan tindakan mereka
pun polos, jujur tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan
tawar-menawar. Karena itu, banyak merasa senang jika berurusan dengan orang
Baduy karena mereka pantang merugikan orang lain”, ujarnya lagi.
Untuk menjaga
kemurnian adat dari pencemaran budaya luar yang dibawa para wisatawan dalam
mengunjungi kawasan pemukiman kaum Baduy, sesekali jaro (kepala desa) Baduy
Dalam melakukan sidak ke desa Baduy Luar. Itu untuk meneliti apakah ada
benda-benda yang bisa melunturkan kepercayaan mereka. Mereka kadang menyita
radio yang dianggap melunturkan kepercayaan adat mereka. Selama ini, tanpa
bunyi sepeda motor, radio, televisi dan mesin apa saja apa saja yang
menimbulkan asap dan bunyi-bunyian, maka desa-desa Baduy adalah titik tenang.
Bunyi gemeletak alat penenun menjadi irama lembut yang menemani keheningan alam
di sana.
Akan tetapi,
amatlah sukar menjaga keheningan tetap bertahan dalam dunia modern yang serba
hiruk pikuk ini. Misalnya kini, mulai tampak anak-anak Baduy yang
“meninggalkan” pakaian tradisional mereka, berupa kain tenunan tangan dengan
warna hitam dan putih, dengan memakai kaos ala seragam kesebelasan sepakbola
Italia yang “berteriak” dengan warna-warni meriah. Mereka yang selama ini
menabukan jual beli dan penggunaan uang, dengan menetapkan pola barter,
akhirnya mulai terlibat proses dagang.
Dalam
melaksanakan upacara tertentu, masyarakat Baduy menggunakan kesenian untuk
memeriahkannya. Adapun keseniannya yaitu:
1. Seni Musik
(Lagu daerah yaitu Cikarileu dan Kidung ( pantun) yang digunakan dalam acara
pernikahan).
2. Alat musik
(Angklung Buhun dalam acara menanan padi dan alat musik kecapi)
3. Seni Ukir
Batik.
Suku
Baduy yang merupakan suku tradisional di Provinsi Banten hampir mayoritasnya
mengakui kepercayaan sunda wiwitan.
Yang mana
kepercayaan ini meyakini akan adanya Allah sebagai “Guriang Mangtua” atau
disebut pencipta alam semesta dan melaksanakan kehidupan sesuai ajaran Nabi
Adam sebagai leluhur yang mewarisi kepercayaan turunan
ini.
Kepercayaan sunda
wiwitan berorientasi pada bagaimana menjalani kehidupan yang mengandung ibadah
dalam berperilaku, pola kehidupan sehari-hari,langkah dan ucapan, dengan
melalui hidup yang mengagungkan kesederhanaan (tidak bermewah-mewah) seperti
tidak mengunakanlistrik,tembok,mobildll.
Ada beberapa
kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Baduy menurut kepercayaan sunda
wiwitan:
1. Upacara Kawalu
yaitu upacara yang dilakukan dalam rangka menyambut bulan kawalu yang dianggap
suci dimana pada bulan kawalu masyarakat baduy melaksanakan ibadah puasa selama
3 bulan yaitu bulan Kasa,Karo, dan Katiga.
2. Upacara
ngalaksa yaitu upacara besar yang dilakukan sebagain uacapan syukur atas
terlewatinya bulan-bulan kawalu, setelah melaksanakan puasa selama 3 bulan.
Ngalaksa atau yang bsering disebut lebaran.
3. Seba yaitu
berkunjung ke pemerintahan daerah atau pusat yang bertujuan merapatkan tali
silaturahmi antara masyarakat baduy dengan pemerintah, dan merupakan bentuk
penghargaan dari masyarakat baduy.
4. Upacara
menanam padi dilakukan dengan diiringi angklung buhun sebagai penghormatan
kepada dewi sri lambing kemakmuran.
Upacara Kelahiran
yang dilakukan suku Baduy melalui urutan kegiatan yaitu:
1. Kendit
yaitu upacara 7 bulanan ibu yang sedang hamil.
2. Saat
bayi itu lahir akan dibawa ke dukun atau paraji untiuk dijampi-jampi.
3. Setelah
7 hari setelah kelahiran maka akan diadakan acara perehan
atau selametan.
4. Upacara
Angiran yang dilakukan pada hari ke 40 setelah kelahiran.
5. Akikah
yaiotu dilakukannya cukuran, khitanan dan pemberian nama oleh dukun(kokolot)
yuang didapat dari bermimpi dengan mengorbankan ayam.
Perkawinan,
dilakukan berdasarkan perjodohan dan dilakukan oleh dukun atau kokolot menurut
lembaga adat (Tangkesan) sedangkan Naib sebagai penghulunya. Adapun mengenai
mahar atau seserahan yakni sirih, uang semampunya, dan kain poleng.
Dalam
melaksanakan kegiatan sehari-hari tentunya masyarakat baduy disesuaikan dengan
penanggalan:
Bulan
Kasa
Bulan
Bulan Sapar
Karo
Bulan
Katilu
Bulan
Kalima
Bulan
Kaanem
Bulan Kapitu
Bulan Kadalapan
Bulan Kasalapan
Bulan
Kasapuluh
Bulan Hapid Lemah
Bulan Hapid Kayu
Seperti yang
telah diketahui akan kebudayaan suku ini yang kental akan mitos, apabila ada
masyarakat baduy yang melanggar asalah satu pantangan maka akan dikenai hukuman
berupa diasingkan ke hulu atau dipenjara oleh pihak polisi yang berwajib
Inti kepercayaan
tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang
dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting
dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan
apapun", atau perubahan sesedikit mungkin:
Lojor heunteu
beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.
(Panjang tidak
bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar